Kekatolikan-Pada kesempatan ini kita akan membahas mengenai warna liturgi di dalam Gereja Katolik, betapa pentingnya liturgi bagi kita umat Katolik, maka dari itu marilah kita bersama-sama belajar dan terus belajar, sehingga kita bisa lebih mengenal arti dari Liturgi tersebut.
Penggunaan warna liturgi berkembang bersama-sama dengan pakaian liturgi dalam sejarah liturgi. Perkembangan pemilihan warna liturgi berlatar belakang pada teknik pembuatan warna pada zaman kuno. Pada zaman kuno bahan pewarna diambil dari getah utama keong merah. Dengan mengkombinasikan jumlah getah keong dengan lama pemaksaan, maka orang mengatur warna yang diinginkan. Semakin lama pemasakan, semakin mahal harganya. Warnah merah tua dan gelap merupakan warna yang paling mahal, maka pesta liturgi yang di simbolkan juga semakin meriah.
Pemilihan warna liturgi amat dipengaruhi oleh penafsiran makna atas simbol warna sebagaimana dipahami suatu budaya dan masyarakat tertentu. De facto, penafsiran terhadap simbol warna bisa bermacam-macam dan berbeda antarsuatau bangsa budaya yang satu dengan yang lain. Meskipun begitu, kita boleh meringkas makna simbolis warna-warna liturgi secara umum dan penggunaanya.
Dalam Liturgi, warna melambangkan:
1. sifat dasar misteri iman yang dirayakan,
2. menegaskan perjalanan hidup Kristiani sepanjang tahun liturgi.
pada indonesia ada usaha pengembangan pakaian liturgi yang inkulturatif. Ternyata hal ini berhubungan pula dengan masalah warna liturgi. Misalnya, motif batik di Jawa sering menimbulkan pertanyaan tentang warna liturgi. Usulan kami ialah agar pemilihan motif-motif itu tetap memperhatikan warna dasarnya, Hendaklah diupayakan agar warna dasar pakaian liturgi tetap sesuai dengan warna liturgi menurut masa liturgi. Penilaian terhadap warna dasar itu bisa dilakukan melalui pembicaraan bersama-sama menurut akal sehat yang umum.
1. Putih dan Kuning
Warna putih dikaitkan dengan makna kehidupan baru, sebagaimana dalam liturgi baptisan si baptisan baru bisa mengenankan pakaian putih. Warna putih umumnya dipandang sebagai simbol kemurnian ketidaksalahan, terang yang tak terpandamkan, dan kebenaran mutlak. Warna putih juga melambangkan kemurnian sempurna, kejayaan yang penuh kemenangan, dan kemuliaan abadi. Dalam arti ini pula mengapa seorang paus mengenakan jubah, singel, dan solideo putih.
Warna kuning umumnya dilihat sebagai warna mencolok sebagai bentuk lebih kuat dari makna kemuliaan dan keabadian, sebagaimana dipancarkan oleh warna emas. Dalam liturgi, warna putih dan kuning digunakan menurut arti simbolisasiyang sama, yakni makna kejayaan abadi, kemuliaan kekal, kemurnian, dan kebenaran. Itulah sebabnya warna putih dan kuning bisa digunakan bersama-sama atau salah satu.
Warna putih kuning dipakai untuk masah Paskah dan Natal, hari-hari raya, pesta dan peringatan Santa Perawan Maria, para malaikat, para kudus bukan martir, pada hari raya, pesta dan peringatan Tuhan Yesus, kecuali peringatan sengsaraNya. Begitu pula warna putih atau kuning digunakan pada hari raya semua orang kudus (1 November), Santo Yohanes Pembaptis (24 juni), pada pesta Santo Yohanes pengarang Injil (27 Desember), Takhta Santo Petrus Rasul (22 Februari), dan Bertobatnya Paulus Rasul (25 Januari).
2. Merah
Warna merah merupakan warna api dan darah. Maka, warna merah ini amat dihubungkan dengan penumpahan darah para martir sebagai saksi-saksi iman, sebagaimana Yesus Kristus sendiri menumpahkan darahNya bagi kehidupan dunia. Dalam tradisi Romawi kuno, warna merah merupakan simbol kuasa tertinggi, sehingga warna itu digunakan oleh bangsawan tinggi, terutama kaisar. Apabila para kardinal memakai warna merah untuk jubah, singel, dan solideonya, maka itu dimaksudkan agar para kardinal menyatakan kesiapsediaannya untuk mengikuti teladan para martir yang mati demi iman.
Dalam liturgi warna merah dipakai untuk hari minggu Palma, Jumat Agung, Minggu Pentakosta, dalam perayaan-perayaan para martir.
3. Hijau
Pada umumnya, warna hijau dipadang sebagai warna yang tenag, menyegarkan, melegakan, dan manusiawi. Warna hijau juga dikaitkan dengan musim semi, dimana suasana alam didominasi warna hijau yang memberi suasana pengharapan. Warna hijau pada khususnya dipandang sebagai warna hijau pada khususnya dipandang sebagai warna kontemplatif dan tenag.
Karena warna hijau melambangkan keheningan, kontemplatif, kenagan, kesengsaraan, dan harapan, warna ini dipilih untuk masa biasa dalam liturgi sepanjang tahun. Dalam masa biasa itu, orang Kristiani menghayati hidup rutinya dengan penuh ketenagan, kontemplatif terhadap karya dan sabda Allah melalui hidup sehari-hari, sambil menjalani hidup ini dengan penuh harapan akan kasih Allah.
4. Ungu
Warna ungu merupakan simbol bagi kebijaksanaan, keseimbangan, sikap berhati-hati, dan mawas diri. Itulah sebabnya warna ungu dipilih untuk masa Adven dan pemimpin. Maka, ruang liturgi harus dibuat sedemikian rupa, agar tata gerak pelaksanaan fungsi dan peranserta itu dimungkinkan dan itu dipermudah.
Pembangunan gedung gereja atau pembentukan ruang liturgi sebaiknya mengikuti tiga prinsip:
1. Prinsip Kesatuan
Tata ruang liturgi haruslah mencerminkan kesatuan umat Allah sebagai tubuh Kristus. Asas kesatuan dan kebersamaan ini bukan hanya soal sosiologis dan psikologis, melainkan pertama-tama memiliki dasar teologis dan spritual yang kuat. Sebab umat Allah yang berhimpun di sekitar altar itu adalah satu tubuh Kristus (Kor 12 dan Rom 12:4) yang bertumbuh pada kesatuan Allah Tritunggal. Secara praktis, itu berarti, tata ruang Ekaristi harus memungkinkan terjadinya kebersamaan dan kesatuan dengan Tuhan dan dengan sesama mereka secara sungguh-sungguh.
2. Prinsip Fungsi dan Peranserta
Semua umat beriman memang merupakan kesatuan. Namun, dalam kesatuan umat beriman ini terdapat aneka peran dan tugas. Konsekuensi praktis bagi tata
ruang liturgi ialah, pertama: adanya tata ruang yang memperhatinkan aneka fungsi dan tindakan yang dilakukan dalam rangka perayaan liturgis. Maka misalnya, pantai imam, altar, dan mimbar sabda harus mendapat yang khusus, dimana semua umat beriman dapat melihat dan merasakan kedekatannya. Kedua: adanya tata ruang yang memungkinkan peranserta aktif seluruh umat beriman.
3. Prinsip Simbolisme
Tata ruang liturgi haruslah memperhatinkan prinsip simbolisme. Dasarnya adalah ciri khas liturgi sendiri yang selalu bersifat simbolis (bdk. SC 7). Maka PUBM 253 menyatakan : "Rumah ibadat dan segala perlengkapannya hendaknya pantas dan indah, serta merupakan tanda dan lambang alam surgawi. " Tata ruang liturgi harus mampu membawa umat kepada realitas illahi dan martabat agung dari apa yang dirayakan dalam liturgi. Maka, tata ruang liturgi menuntut usaha dan kreavitas seni yang tinggi, indah , dan baik, yang "membantu memperdalam iman dan kesucian" (SBL 620). Di samping itu, tata ruang Ekaristis ini harus dibangun menurut napas daerah setempat dan tuntutan zaman (SBL 646).